BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
Mantra
sebagaimana dikemukakan Poerwadarminta (1988: 558) adalah:
1) perkataan atau ucapan yang mendatangkan daya gaib (misal dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya); 2) susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.
1) perkataan atau ucapan yang mendatangkan daya gaib (misal dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya); 2) susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.
Sejalan
dengan pembagian jenis mantra, Rusyana (1970) membagi mantra berdasarkan
tujuannya menjadi 7 bagian, yaitu jampe ‘jampi’, asihan ‘pekasih’, singlar
‘pengusir’, jangjawokan ‘jampi’, rajah ‘kata-kata pembuka ‘jampi’, ajian
‘ajian/jampi ajian kekuatan’, dan pelet ‘guna-guna’. Diketahui bahwa ketujuh
bagian tersebut dapat dikelompokkan ke dalam mantra putih ‘white magic’ dan
mantra hitam ‘black magic’. Pembagian tersebut berdasarkan kepada tujuan mantra
itu sendiri, yakni mantra putih digunakan untuk kebaikan sedangkan mantra hitam
digunakan untuk kejahatan.
Adanya
pembagian antara mantra putih (white magic) dan mantra hitam
(black magic) sebenarnya sulit untuk diukur dalam pengertian tidak ada pembeda secara nyata di antara keduanya, karena sering terjadi penyimpangan tujuan dari mantra putih ke mantra hitam tergantung kepada siapa dan bagaimana akibat yang ditimbulkan oleh magic tersebut. Dapat dicermati bahwa mantra putih di antaranya bertujuan untuk menguasai jiwa orang lain, agar diri dalam keunggulan, agar disayang, agar maksud berhasil dengan baik, agar perkasa dan awet muda, berani, agar selamat, untuk menjaga harta benda, mengusir hantu atau roh halus, menaklukan binatang, menolak santet, untuk menyembuhkan orang sakit. Adapun kategori mantra hitam diantaranya bertujuan untuk mencelakai orang agar sakit atau mati, membalas perbuatan jahil orang lain, dan memperdayakan orang lain karena sakit hati.
(black magic) sebenarnya sulit untuk diukur dalam pengertian tidak ada pembeda secara nyata di antara keduanya, karena sering terjadi penyimpangan tujuan dari mantra putih ke mantra hitam tergantung kepada siapa dan bagaimana akibat yang ditimbulkan oleh magic tersebut. Dapat dicermati bahwa mantra putih di antaranya bertujuan untuk menguasai jiwa orang lain, agar diri dalam keunggulan, agar disayang, agar maksud berhasil dengan baik, agar perkasa dan awet muda, berani, agar selamat, untuk menjaga harta benda, mengusir hantu atau roh halus, menaklukan binatang, menolak santet, untuk menyembuhkan orang sakit. Adapun kategori mantra hitam diantaranya bertujuan untuk mencelakai orang agar sakit atau mati, membalas perbuatan jahil orang lain, dan memperdayakan orang lain karena sakit hati.
Kehadiran
mantra putih maupun mantra hitam itu sendiri berpangkal pada kepercayaan
masyarakat pendukung di dalamnya yang memunculkan fenomena yang semakin
kompleks di jaman sekarang. Sejumlah penilaian, sikap, dan perlakuan masyarakat
Sunda terhadap mantra semakin berkembang. Ada sebagian masyarakat yang begitu
mengikatkan secara penuh maupun sebagian dirinya terhadap mantra dalam
kepentingan hidupnya. Sebagian masyarakat lainnya secara langsung atau tidak langsung
menolak kehadiran mantra dengan pertimbangan bahwa menerima mantra berarti
melakukan perbuatan syirik. Pada bagian masyarakat yang disebutkan
pertama dapat digolongkan ke dalam masyarakat penghayat atau pendukung mantra,
sedangkan bagian masyarakat yang lainnya digolongkan ke dalam masyarakat bukan
penghayat mantra.
Bagi
masyarakat penghayat mantra, kegiatan sehari-hari kerap kali diwarnai dengan
pembacaan mantra demi keberhasilan dalam mencapai maksud. Misalnya, para petani
ingin sawahnya subur, terhindar dari gangguan hama, ingin panen hasilnya
melimpah; para pedagang ingin dagangannya laris. Mantra diterima oleh
masyarakat penghayatnya sebagai kebutuhan penunjang setelah kehidupan agamanya
dijalani secara sungguh-sungguh.
Adanya
kebutuhan terhadap mantra sebagai warna yang menghiasi kehidupan sehari-hari.
Kegiatan yang tidak terlepas kepada keadaan alam dan mata pencaharian,
menghasilkan tiga kelompok besar sehubungan dengan penggunaan mantra, yaitu
mantra yang digunakan untuk perlindungan, kekuatan, dan pengobatan.
berikut
adalah petunjuk tentang cara mempelajari ilmu ini dan cara mengunakannya,
diambil diambil dari makalah muchtaram
1.
sebelum menjalankan atau mengamalkan ilmu ini
sebaiknya kita memilih dulu jampi atau doa atau ucpan paling tepat sesuai
dengan tujuan kita kita dan sesuai dengan kemampuan kita melaksanakannya,
terutama yang menyangkut persyaratan
2.
Mandi keramas agar bersih dari hadas besar dan
hadas kecil
3.
Niat harus bulat, terkonsentrasi, jika jampinya
asihan, maka kita harus membayangkan wajah orang yang diinginkan seolah
dihadapan kita
4.
menjalankan puasa sesuai dengan petunjuk guru,
biasanyatidak seperti puasa Ramadhan. puasanya 24 jam sehari. bila akan puasa
hari senin, Makan mulai hari ahad pukul 07:00 sudah berpuasa, bernukanya hari
senin ba’da Magrib. Kalau mati geni (ngebleng) , maka harus selalu
dikamar dan tidak boleh makan dan minum serta tidak tidur semalam
5.
jika sudah selesai puasa dan bacaan sudah
hafal, dianjurkan mengadakan selamatan yaitu menyediakan makanan sesuai petunjuk
guru, biasanya nasi gurih, dengan ayam putih ikan warna tertentu atau telor
jumlah tertentu. semuanya sesuai petunjuk guru
6.
jika dalam pelaksanaan persyaratan itu mendapat
godaan,sehingga batal, maka harus sabar dan mencoba lagi
Jangjawokan didalam koridor
satra puisi arkais didefinisikan, sebagai : permintaan atau perintah agar
keinginan (orang yang menggunakan jangjawokan) dilaksanakan oleh nu gaib
“makhluk gaib” sebatas ini mudah dipahami, yakni para pengguna jangjawokan
menggunakan makhluk gaib untuk mencapai keinginannya. Namun tidak dapat
dipungkiri jika ditemukan pula jangjawokan yang menggunakan bacaan sebagaimana
lajimnya digunakan oleh urang sunda yang beragama islam (lihat Sadat Buhun),
dikatagorikan do’a, bukan jangjawokan. Namun apakah tidak ada jangjawokan bukan
do’a ?.
Pemilahan jangjawokan dengan do’a dimungkinkan terjadi jika jangjawokan dikatagorikan sebagai bagian dari puisi sunda (arkais), serta dibahas dalam kacamata sastra. Indikator jangjawokan ditentukan berdasarkan kacamata sastra. Namun boleh saja jika jangjawokan dilihat dari kacamata lainnya. Karena ketika seseorang mengucapkan jangjawokan tentu tujuannya bukan untuk membaca puisi.
Jangjawokan diyakini memiliki kekuatan magis. Kemungkinan kekuatan dari kandungan magis yang dirasakan nyaman menyebabkan jangjawokan ditularkan secara turun temurun. Jangjawokan tidak mungkin bisa bertahan dan terkabarkan hingga sekarang jika tidak dirasakan manfaatnya dan diyakini kekuatannya. Yang jelas ada harmoni manusia dengan alamnya ketika jangjawokan itu dibacakan.
Peran jangjawokan bisa diasumsikan keberadaanya sebelum kemudian diserahkan kepada para penyembuh modern, seperti dokter ; psikolog ; atau profesi apapun yang terkait dengan masalah penyembuhan fisik dan psikis. Jangjawokan digunakan pula dalam keseharian, sebagai bagian dari tertib hidup, seperti pada kegiatan sebelum buang air dan kegiatan lainnya.
Jangjawokan dalam jenis ini bisa ditemukan dalam Jampe Kahampangan (Jampi hendak buang air kecil) ; Jampe Kabeuratan (hendak buang air besar) ; Jampe Neda (Jampi sebelum makan) ; Jampe Masamon (Jampi bertamu) dll. Konon kabar, kekuatan dari magisnya terletak pada kebersihan hati si pelafalnya dan kesungguhan bagi para penggunannya. Namun saya tidak bisa terlalu jauh masuk untuk mengetahui pengaruhnya, biarlah ini merupakan bagian dari bidang l.ainnya.
[[1]]Wahyu Wibisana, mengkatagorikan: ”ajimantra (baca : Jangjawokan) merupakan sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda kuno. Dikatakan ’pernah digunakan’ dan ’pernah muncul’, karena memang saat ini kebanyakan orang sunda sudah tidak menggunakan dan sekaligus tidak mempercayai ajimantra. Hanya saja, sebagai karya sastra (yang umumnya berbentuk lisan) tetap merupakan genre tersendiri dalam sastra Sunda seperti juga pada sastra daerah lainnya di Nusantara.”.
Dari pernyataan diatas, saya yakin Kang Wahyu masih menganggap bahwa masih ada masyarakat Sunda yang menggunakan jangjawokan. Kitapun lantas tidak bisa menafsirkan masyarakat pengguna jangjawokan sebagai masyarakat ketinggalan jaman, karena realitasnya masih nyaman untuk digunakan. Dengan dimasukannya ajimantra sebagai bagian dari puisi maka masih bisa ditelusuri dan terkabarkan beritanya kepada generasi berikutnya. Setidak-tidaknya katagorisasi ini dapat menyelamatkan jangjawokan sebagai asset budaya bangsa, sekalipun hanya dinikmati sebagai karya seni, tidak pada unsur magisnya.
Ciri-ciri Jangjawokan.
Jangjawokan menurut Wahyu Wibisana memiliki ciri-ciri, yakni :
Pemilahan jangjawokan dengan do’a dimungkinkan terjadi jika jangjawokan dikatagorikan sebagai bagian dari puisi sunda (arkais), serta dibahas dalam kacamata sastra. Indikator jangjawokan ditentukan berdasarkan kacamata sastra. Namun boleh saja jika jangjawokan dilihat dari kacamata lainnya. Karena ketika seseorang mengucapkan jangjawokan tentu tujuannya bukan untuk membaca puisi.
Jangjawokan diyakini memiliki kekuatan magis. Kemungkinan kekuatan dari kandungan magis yang dirasakan nyaman menyebabkan jangjawokan ditularkan secara turun temurun. Jangjawokan tidak mungkin bisa bertahan dan terkabarkan hingga sekarang jika tidak dirasakan manfaatnya dan diyakini kekuatannya. Yang jelas ada harmoni manusia dengan alamnya ketika jangjawokan itu dibacakan.
Peran jangjawokan bisa diasumsikan keberadaanya sebelum kemudian diserahkan kepada para penyembuh modern, seperti dokter ; psikolog ; atau profesi apapun yang terkait dengan masalah penyembuhan fisik dan psikis. Jangjawokan digunakan pula dalam keseharian, sebagai bagian dari tertib hidup, seperti pada kegiatan sebelum buang air dan kegiatan lainnya.
Jangjawokan dalam jenis ini bisa ditemukan dalam Jampe Kahampangan (Jampi hendak buang air kecil) ; Jampe Kabeuratan (hendak buang air besar) ; Jampe Neda (Jampi sebelum makan) ; Jampe Masamon (Jampi bertamu) dll. Konon kabar, kekuatan dari magisnya terletak pada kebersihan hati si pelafalnya dan kesungguhan bagi para penggunannya. Namun saya tidak bisa terlalu jauh masuk untuk mengetahui pengaruhnya, biarlah ini merupakan bagian dari bidang l.ainnya.
[[1]]Wahyu Wibisana, mengkatagorikan: ”ajimantra (baca : Jangjawokan) merupakan sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda kuno. Dikatakan ’pernah digunakan’ dan ’pernah muncul’, karena memang saat ini kebanyakan orang sunda sudah tidak menggunakan dan sekaligus tidak mempercayai ajimantra. Hanya saja, sebagai karya sastra (yang umumnya berbentuk lisan) tetap merupakan genre tersendiri dalam sastra Sunda seperti juga pada sastra daerah lainnya di Nusantara.”.
Dari pernyataan diatas, saya yakin Kang Wahyu masih menganggap bahwa masih ada masyarakat Sunda yang menggunakan jangjawokan. Kitapun lantas tidak bisa menafsirkan masyarakat pengguna jangjawokan sebagai masyarakat ketinggalan jaman, karena realitasnya masih nyaman untuk digunakan. Dengan dimasukannya ajimantra sebagai bagian dari puisi maka masih bisa ditelusuri dan terkabarkan beritanya kepada generasi berikutnya. Setidak-tidaknya katagorisasi ini dapat menyelamatkan jangjawokan sebagai asset budaya bangsa, sekalipun hanya dinikmati sebagai karya seni, tidak pada unsur magisnya.
Ciri-ciri Jangjawokan.
Jangjawokan menurut Wahyu Wibisana memiliki ciri-ciri, yakni :
1.
menyebutkan nama kuasa imajiner, seperti :
Pohaci Sanghiyang Asri, Batara, Batari dll.
2.
dalam kalimat atau frase yang
menyatakan si pengucap janjawokan berada pada posisi yang lebih kuat, otomatis
berhadapan dengan pihak yang lemah.
3.
berhubungan dengan konsvensi
puisi, merupakan kelanjutan dari gaya Sastra Sunda Buhun dan cerita Pantun,
yakni adanya desakan atau perintah, disamping himbauan, tegasnya bersifat
imperative dan persuasif.
4.
masih berhubungan dengan konvensi
puisi, adanya rima-rima dalam jangjawokan. Rima-rima dimaksud memiliki fungsi
estetis ; membangun irama ; fungsi magis ; fungsi membuat ingatan orang yang
mengucapkan.
5.
adanya lintas kode bahasa pada
ajimantra yang hidup di Priangan dan Baduy. Bahasa jangjawokan tersebut diserap
seutuhnya atau disesuaikan dengan lidah pengucapnya.
6.
terkesan sebagai sastra arkais
yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda.
Ciri-ciri diatas tentunya dilihat dari katagori Jangjawokan sebagai bagian dari puisi arkais sunda. Jadi wajar jika ada tekanan tujuan dari materi jangjawokan ; gaya sastra dan gaya bahasa ; rima-rima ; dan kelahirannya paska sastra sunda.
Penyebutan Kuasa Imajiner
Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya, sebagaimana dalam Jangjawokan.
Ciri-ciri diatas tentunya dilihat dari katagori Jangjawokan sebagai bagian dari puisi arkais sunda. Jadi wajar jika ada tekanan tujuan dari materi jangjawokan ; gaya sastra dan gaya bahasa ; rima-rima ; dan kelahirannya paska sastra sunda.
Penyebutan Kuasa Imajiner
Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya, sebagaimana dalam Jangjawokan.
BAB II
PEMBHASAN
A.
Jangjawokan
Di
tatar sunda , istilah jangjwokan masih dikenal masyrakat. masih ada juga
sebagian warga masyrakatnya mempelajarinya dan ada yang mengajarkanya masih ada
juga yang menggunakanny. jangjwokan adalah semacam ucapan tujuan magis tertentu
1.
Ontologi
Jangjawokan adalah
bahsa sunda, disebut juga jampi aji-aji dalam bahasa jawa , adalah
semcam ucapan yang bacaaannya campuran antara bahasa arab, bahasa sunda, bahasa
jawa. isi kalimatnya mirip dengan mantra, ia biasanya disusun dalam bentuk
syair.
Jangjawokan merupan
ucapan atau kalimat (kalimat-kalimat) yang bila diucapkan diyakini memiliki
kekuatan magis tertentu. asal usul
jangjawokan tidak jelas, darimana dan siapa yang mula-mula
mengajarkannya . yang unik, disetiap daerah di Indonesia (mungkin jga ditempat
lain) terdapat jangjwokan dengan istilah bermacam-macam da nisi kalimat
mantranya berbeda –beda menurut daerah masing –masing . Tidak juga dipahami
mengapa untuk tujuan tertentu digunakan kalimat tertentu dengan persyratan
terntu pula. Yang diceritakan dalam uraian ini adalah jangjawokan didaerah
sunda.
Di daerah Sunda,
jangjwokan itu kelihatannya berupa doa, untuk keperluan tertentu, seperti agar
lulus ujian, agar dagangannya laris , agar dicintai seseorang (jadi sama dengan
pelet), agar jadi pemberani, agar musuh takut dan lain-lain.
2.
Epistemologi
Bacaan dalam jangjawokan
biasanya diajarkan oleh guru dari mulut ketelinga ( secara lisan) dalam
situasitidak formal. lafal-lafal bacaanya daihafal dengan meniru ucapan dari
guru biasanya datang keguru tatkala datang memelukannya saja, misalnya, seorang
mendapat tantangan (fisik) maka ia datang kegurunya minta diajarkan agar
penantang itu takut .
Agar bacaan-bacaan dari guru berkhasiat ampuh(
sunda:matih) diperlukan terpenuhinya syarat-syarat tetentu, seperti pusa
wedal( puasa hari kelahiran), puasa tiga hari berturut-turut, puasa mutih
kadang-kadang dan lain-lain sesuai petunjuk guru. bagi mereka yang telah
dibekali dengan bacaan jangjawokan ada pantngan yang tidak boleh dilanggar,
seperti tidak boleh melewti kali (harus turun tidak boleh lewat jembatan, tidak
boleh melngkahi kali), tidak boleh menyembeleh hewan, tidak makan kelapa muda,
tidak boleh makan sate yang dipanggang dan lain-lain sesuai petnjuk guru
[2]M.
Muchtaram mewawancari guru jangjawokan. menurut itu (kadim) pengetahuan ini
tidak boleh diberitahukan kepada seseorang kecuali bila ia telah menyatakan
ingin berguru. Yang berguru harus memenuhi syarat-syarat.seperti puasa khusus
beberapa hari, mati geni , atau tapa, berat atau ringan syaratnya akan
menentukan tinggi rendahnya khasiat ilmu itu. ada yang disyaratkan puasa 3
hari, hari, ada juga yang 40 hari diakhiri
dengan mati geni, tapa diatas jembatan kecil semalam.
Masih dipenelitian
Muctharam, menurut nacih ilmu itu dapat diberikan kepada seseorang tampa
persyaratan tertentu bila orang tersebut dapat dipercaya, hanya saja dalam
penerapan tidak berkhasiat (sunda:tidak
matih) bila persyratan tidak dipenui atau pantangan dilanggar ,tapi
Rosidin mendapatkan
ilmu ini dari neneknya tanpa persyaratan
,tertentu,itu diberikan karena Rosidin sangat dipercaya mungkin karena
kekerabatan .
berikut
adalah petunjuk tentang cara mempelajari ilmu ini dan cara mengunakannya,
diambil diambil dari makalah muchtaram
1.
sebelum menjalankan atau mengamalkan ilmu ini
sebaiknya kita memilih dulu jampi atau doa atau ucpan paling tepat sesuai
dengan tujuan kita kita dan sesuai dengan kemampuan kita melaksanakannya,
terutama yang menyangkut persyaratan
2.
Mandi keramas agar bersih dari hadas besar dan
hadas kecil
3.
Niat harus bulat, terkonsentrasi, jika jampinya
asihan, maka kita harus membayangkan wajah orang yang diinginkan seolah
dihadapan kita
4.
menjalankan puasa sesuai dengan petunjuk guru,
biasanyatidak seperti puasa Ramadhan. puasanya 24 jam sehari. bila akan puasa
hari senin, Makan mulai hari ahad pukul 07:00 sudah berpuasa, bernukanya hari
senin ba’da Magrib. Kalau mati geni (ngebleng) , maka harus selalu
dikamar dan tidak boleh makan dan minum serta tidak tidur semalam
5.
jika sudah selesai puasa dan bacaan sudah
hafal, dianjurkan mengadakan selamatan yaitu menyediakan makanan sesuai
petunjuk guru, biasanya nasi gurih, dengan ayam putih ikan warna tertentu atau
telor jumlah tertentu. semuanya sesuai petunjuk guru
6.
jika dalam pelaksanaan persyaratan itu mendapat
godaan,sehingga batal, maka harus sabar dan mencoba lagi
3.
Aksiolgi
kelihatannya
jangjawokan digunakan untuk hal-hal yang
baik. agak sulit menempatkan jangjawokan, apakah termasuk ilmu putih atau ilmu
hitam. untuk menilai jangjawokan agaknya perlu dilihat dapa tigal hal : pertama
pada epistimologinya, dalam hal ini persyaratanya jampi tau bacaanya dan kedua,
segi aksiologinya
berikut beberapa
contoh jangjawokan yang menjelsakan selain bacaan juga digunaanya
a.
Asihan
Nabi Yusuf
bacaannya:
inna kulli sya’in qodir
rohku,cahayaku,Yusuf
mukaku muka Ali
badanku Nabi Muhammad
barang siapa yang melihatku tolong ambilkansi….
binti…..
tolong ntar samaku hatinya si… binti…
laa ilaaha illallahi Muahammad Rasulullah
syaratnya: puasa
senin kamis masing –masing 7 hari ( jadi 7 senin dan kamis). bacaaan diatas dibaca 35 kali setiap
malam sebelum tidur.
Kegunaannya agar dicintai perempuannya
b.
Asihan
perorangan
hong o lintang-lintang wengi, rembulan koneng
nyumeratake, cahayae kang gumilang,ana ing ranjangku si.. binti.. atine
ajanganti bisa anteng sadurunge mara menyang aku, laa ilaaha illallah Muhammad
Rasulullah
Syaratnya: bacaan ini dibaca
tengah malam sambil memandang kumpulan bintang-bintang dilagit
Gunanya: mempertebal
cinta kasih sayang sudah lama retak
c.
Penyembuhan
bisul
Bacaannya:
bismillairrahmanirrahim
sangkama abang burung
sangkama bali burung
lembur hancur jadi banyu
ngelaketi jadi lenga
leungit tanpa lebih ilang tampa karena,
rep sirep ku kersaning gusti ALLAH,
rep sirep ku kersaning gusti ALLAH,
rep sirep ku kersaning gusti ALLAH,
huri nu ngempe, hurip nu dijempe,
laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah
caranya:
kapur yang sudah dibasahi dioleskan pada dauns sirih yang telahh dilubangi tengahnya, tempelkan
pada bisul, insya ALLAH 3 sampai hari
sembuh
d.
Penyembuhan Sakit Ulu Agen
bacaannya:
astaufirullahal’azhim 3x
cunduk sonteh bade nulungan, datang soteh bade nyare’atan
huripna kunabi, waras ku Allah,
huripku kersani Allahh.
syaratnya:
harus berpuasa senin -kamis dan tanggal satu setiap bulan Hijriah
caranya:
rebus daun
sembung, patrawali dan daun jeruk besar , pada tempurung berwarna hitam yan
dimasuki uang logam, kemudian airnya dimunum oleh yang sakit sampai habis dan
uang logamnya disedehkahkan kepada anak yatim. selain itu si sakit harus
menguyah beras merah, kencur dan bawang merah sekligus di telan sampai habis.
e.
Memandikan
Orang yang mempunyai tanda
Bacaanya:
bismillahirrahmanirrahim
allahumma sangkala ponggong
waw wayu fi kulli kabir fi kulla besar
pengucap nabi luku-tiku llenyah-lenyay
waries wurleees
caranya:
bacaan ini ditiupkan kepada
air dalam ember yang dimasukkan uang logam kemudian dimandikan pada ornag yang
dianggap mempunyi kelainan seperti sangat nakal atau sulit mempunyai adik
f.
Memberantas
Hama Wareng
bacaanya:
Bismillahirrahmanirrahim,
allahumma qadrihi, allahumma sariqotihi, aja uju
lahulaha, sari qotihi watakalimunahu, roh nu rohim,
roh nurihim, roh nurihim
caranya:
bacaan tersebut dibacakan pada abu
kemudian abunya ditaburkan pada tananman atau padi yang kena werang
sambil berkeliling disawah tiga kali
Menurut Kadim (
Sumber Muchtaram) ilmu ini ( Jangjawokan) data digunakn untuk berbagai
kebutuan, tergantung pada jenis bacaanya, antara lain:
a.
agar
dikasihi orang, pembesar
b.
agar
dicintai ( jadi seperti pelet)
c.
untuk
menyembuhkan peyakit
d.
agar
disegani atau ditakuti, dan lain-lain
selanjutnya Kadim menyatakan bahwa
ilmu itu tidak akan berkasiat bila digunakan untuk tujuan yang tidk baik atau
diperjualbelikan secara materi, Menurut Nenek Nacih begitu juga , katanya, bila
diminta pertolongan haruslh diberikan dengan iklas tanpa mengharap imbalan
apa-apa seandainya do’anya dikabulkan.
berikut ini beberpa contoh jangjawokan
yang diambil dari makalah Dede Daut:
1.
kedugalan
(agar kebal)
bacaannya:
awak tampak suci malang
gena, awak panyipuh buana
awak sang suci manik, awak sang suci dewata
yen ingsun jaya sorangan, jaya batu jaya aing,
jaya bata ,sayahadat,
2.
kadugalan
( Supaya dapat berjaan di atas air )
bacaannya:
awak tampak malang gena, awak penyipuh buana,
awak sang suci manik,awak dewata, ya ingsung jaya
sorangan, jay acai jaya aing, jaya cai, syahadat
3.
Pangabaran(
menghadapi musuh)
bacaannya:
duit aing satuntun
gunung, tunjang aing santung-tung Negara
ciduh aing satunjung segar, batuk aing sadar gugur, dehem aing sada
matri, kiciup aing kijang kiblat, syahadat
Dibaca ketika menhadapi lawan, dehem
tiga kali.
4.
Pamelet(
asihan si lulut putih)\
bacaannya:
asihan aing si lulut
putih, sangka lulut ambung
kemeneng, sangkema tumpek dibali, naon papanganan sia,
sangsingut putih sangules putih, harti basar keur leutik, harta
geus mangrupa,
asihan ti para nabi, paparin ti para umatt, seweu ratu kumo rosul,
seweu menak komo hayang, cacakan seweu dewata, mangka welas mangka asih
asih kang diri aing
5.
Jampi
Raheut( Patah Tulang)
bacaannya:
istighfar 3x
syahadat 1x
kulit pabeulit urat papulang,
disireup ku beusi persani
rep tiis ti peuting waras ti beurang
hurip ku gusti waras ku kersaning
sumsum tepung smsum
tulang tepung tulang
jin nu ngrapetna
daging tepung daging
jin nu ngarapetna
nyuhunkeun pitulung ka para dewa nu tujuh sukmana,
akmana, rasana, angawasana, cageur kebudaan,
Dilanjutkan baca syahadat, kemudian disapu yang luka atau patah
6.
Peleumpeuhan
( agar musuh lemah )
bacaannya:
kuyangkung bayu
kuyangkung
suka sia dicancang ku aing
banyu leuleus bayu ampeuh
ampeuh ka aing, ka raga aing ,
leupeuh
7.
Penangkal
Sial
bacaannya:
Tapak aing cadas ngampar
bitis aing batu tungelis,
beuteung aing beuteubg beg-beg,
sirah aing batu wulung, ya ingsun batu wulung
badannya, matanya, nyuhunkeun pitulung
dewa anu tujuh
syahadat.
Jangjawokan
adalah semacam jampi-jampi atau bacaan-bacaaan atau mantra-mantra yang berkembang
daerah tertentu. yang dibicarak diatas adalah Jangjawokan didaerah Sunda.
Jampi-jampi itu diyakini memiliki kekuatan magis oleh orang yang
menggunakannya. kekuatan tersebut mungkin merupakan bantuan atau dorongan bagi
orang yang hendak melakukan kebaikan atau menangkal marabahaya yang
mengancamnya.
Jangjawokan
merupakan tradisi mistis yang berlaku didaerah tertentu, Biasanya diajarkan
atau diberikan ketika diperlukan
Sandaran yang
dipakai Jangjawokan ternyata bermacam-macam, kadang-kadang kepada Allah, kadang
ke Dewa atau Jin. Agaknya Jangjawokan merupakan percampuran budaya local dan
budaya Islam. Sangat sulit untuk menegaskan apakah jangjawokan masuk mistik
putih atau hitam mengujinya harus pada ontology, epistimologi serta
aksiologinya
BAB III
PENUTUP
1.
Jangjawokan
Secara ontologi adalah bahsa sunda, disebut juga jampi aji-aji dalam
bahasa jawa , adalah semcam ucapan yang bacaaannya campuran antara bahasa arab,
bahasa sunda, bahasa jawa. isi kalimatnya mirip dengan mantra, ia biasanya
disusun dalam bentuk syair
2.
Jangjawokan
secara Epistemologi Bacaan dalam jangjawokan biasanya diajarkan oleh guru dari
mulut ketelinga ( secara lisan) dalam situasitidak formal. lafal-lafal bacaanya
daihafal dengan meniru ucapan dari guru biasanya datang keguru tatkala datang
memelukannya saja, misalnya, seorang mendapat tantangan (fisik) maka ia datang
kegurunya minta diajarkan agar penantang itu takut .
3.
Jangjawokan
secara Aksiolgi kelihatannya jangjawokan digunakan untuk hal-hal yang baik. agak sulit menempatkan
jangjawokan, apakah termasuk ilmu putih atau ilmu hitam. untuk menilai
jangjawokan agaknya perlu dilihat dapa tigal hal : pertama pada
epistimologinya, dalam hal ini persyaratanya jampi tau bacaanya dan kedua, segi
aksiologinya
DAFTAR ISI
http://mirwansmart.blogspot.co.id/2009/11/jangjawokan-sunda.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar